Selasa, 29 Desember 2015

MERANTAU

Fajar pagi dari ufuk timur belum menampakkan sinarnya, tetapi pagi itu tubuh renta Mbok Sukinem sudah terjaga mengambil seonggok kayu bakar untuk memasak makanan pagi ini. Kayu yang di ambil dari hutan dan dikumpulkan di belakang pawon (jawa; dapur) di tata rapi untuk di bakar di batu perapian. Mbok Sukinem tidak ingin pergi terlambat lebih dari jam 7 pagi untuk bekerja di perkebunan coklat milik PTPN. Tak ada yang mewah di dapur Mbok Sukinem, gerabah kwali beserta koloninya yang menjadi penghias dapur Mbok Sukinem. Bukan Mbok Sukinem tidak mengenal kompor gas beserta tabung LPG. Tetapi karena Mbok Sukinem tidak mampu untuk membeli program pemerintah itu. Bagi Mbok Sukinem program pemerintah itu sama saja monopoli negara untuk merauk keuntungan dari rakyatnya. Dalam pandangan konservatifnya dia ingin menjaga nilai etnis dan tradisi dikampungnya dengan menggunakan kayu bakar untuk memasak, terlebih Mbok Sukinem memang tidak mampu untuk membelinya. Penghasilan 10 ribu rupiah per hari yang ia dapat selama bekerja di kebun coklat milik PTPN tidak bisa mencukupi kebutuhan hidup keluarganya.

Suami Mbok Sukinem Mbah Sadirun namanya sudah setahun ini tak bisa berdiri karena sakit asam urat yang dideritanya. Mbah Sadirun hanya bisa menghabiskan waktunya ditempat tidur dan hanya dengan bantuan Mbok Sukinem lah Mbah Sadirun bisa terbantu. Mbah Sadirun dulunya adalah seorang pekerja keras, menjadi buruh tani di PTPN yang pekerjaanya meliputi menanam pohon coklat, mengangkut pupuk serta menaburnya kepohon coklat, mengambil buah coklat, mengangkut coklat ke gudang-gudang coklat adalah pekerjaan sehari-harinya. Disamping menunggu masa panen coklat terkadang Mbah Sadirun merubah profesinya menjadi buruh kuli bangunan ditetangga-tetangganya yang membutuhkan bantuannya. Kerja keras Mbah Sadirun hanya cukup untuk membeli beras beserta lauk untuk keluarganya.

Mbok Sukinem dan Mbah Sadirun sebenarnya mempunyai dua orang anak, anaknya yang pertama perempuan dan anaknya yang kedua laki-laki. Anak pertama Mbok Sukinem meninggal dunia saat berusia 2 tahun karena gizi buruk yang dideritanya. kini Mbok Sukinem hanya tinggal mempunyai satu orang anak laki-laki yang berusia 18 tahun. Paijo namanya anak laki-laki Mbok Sukinem itu. Karena keterbatasan ekonomi, Paijo hanya bisa mengenyam pendidikan sampai SMP. Di usianya yang baru 18 tahun, Paijo sudah merasakan pahitnya kehidupan. Beban ekonomi yang di emban keluarganya membuat Paijo bergerak untuk merantau meninggalkan keluarganya ke kalimantan menjadi buruh kelapa sawit, dengan harapan bisa memperbaiki ekonomi keluarganya.

Tiga tahun sudah Paijo merantau meninggalkan kedua orang tuanya. Hanya sepucuk surat dan uang yang tak seberapa yang dia kirimkan saat bulan Ramadhan tiba. Isi suratnya tak jauh berbeda dengan surat-surat sebelumnya. Mak panggilan Paijo kepada ibunya Mbok Sukinem, berikut penggalan surat Paijo kepada ibunya Mbok Sukinem. "Mak, kulo nyuwon ngapuntene seng katah, meniko wulan riyadin ingkang suci niki kulo mboten saget mantuk. Dipun sebab aken meniko kulo teng mriki mboten gadah pinaringan sangu ndamel mantuk teng griyo. Pandongone mawon Mak, kulo teng mriki di paringaken kesehatan, rezeki ingkang katah lan saget mantuk tahun pendak. Paijo teng mriki nggeh mboten luput ndongaaken Mak kalian Bapak mogo kaleh gusti pangeran dipun paringi kesehatan, panjang umur, lan pinaringan rezeki ingkang katah. amin" (jawa; Ibu, saya mohon maaf yang sebesar-baesarnya, di bulan ramadhan yang suci ini saya tidak bisa pulang. di sebabkan saya tidak punya uang untuk pulang ke rumah. Do'a kan saja Ibu, saya di sini di berikan kesehatan, rezeki yang banyak, dan bisa pulang tahun depan. Paijo disini juga tidak lupa mendo'akan Ibu dan Bapak semoga gusti pangeran memberikan kesehatan, umur yang panjang, dan rezeki yang banyak. amin)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar